Dalam suatu Tindak Pidana yang terjadi tentu ada salah satu pihak yang dirugikan dan pihak yang dirugikan akibat daripada perbuatan hukum dalam ranah pidana tersebut biasa dikenal dengan sebutan "Korban". Korban itu sendiri adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Definisi mengenai korban tersebut dijelaskan melalui peraturan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Bicara mengenai korban dalam suatu tindak pidana yang terjadi, di Negara Indonesia ternyata dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan saksi & korban dan juga PP 35 Tahun 2020 diatas, Terdapat mengenai hak dari pada korban untuk mendapat ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Hal tersebut lah yang disebut dengan Restitusi, yang dimana Restitusi yang berhak diperoleh Korban ialah seperti ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Dan terkait judul diatas, Syarat korban tindak pidana untuk mendapat ganti Kerugian melalui Permohonan Restitusi secara hukumnya dijelaskan di dalam Pasal 19 hingga Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dimana dalam Peraturan tersebut dijelaskan bahwa cara pemberian restitusi ialah sebagai berikut :
1. Permohonan untuk memperoleh Restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya (biasanya Pengacara / Advokat).
2. Pengajuan tersebut dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK. Dan jika permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada Penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya. Namun jika permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
Baca Juga : 5 Hal yang Buat Narapidana Diizinkan Keluar Lapas Untuk Sementara
3. Dalam hal pengajuan permohonan Restitusi kepada pengadilan melalui LPSK, pihak yang mengajukan tersebut paling tidak harus memuat mengenai identitas pemohon, uraian tentang tindak pidana, identitas pelaku tindak pidana, uraian kerugian yang nyata-nyata diderita dan bentuk Restitusi yang diminta.
4. Selain itu ketika mengajukan permohonan restitusi kepada pengadilan melalui LPSK harus dilampiri juga dengan :
-fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang,
-bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang,
-bukti biaya yang akan atau telah dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan,
-fotokopi surat kematian, jika Korban meninggal dunia,
-surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjuk pemohon sebagai Korban tindak pidana,
-surat keterangan hubungan Keluarga jika permohonan diajukan oleh Keluarga,
-surat kuasa khusus jika permohonan Restitusi diajukan oleh kuasa Korban atau kuasa Keluarga,
- dan kutipan putusan pengadilan, jika perkaranya telah diputus pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hal-hal tersebut diataslah yang menjadi syarat utama jikalau korban tindak pidana baik melalui korban itu sendiri, keluarga atau kuasanya jika ingin mendapat ganti kerugian akibat dari tindak pidana melalui permohonan restitusi. Tentu dikabulkannya atau ditolaknya permohonan restitusi tersebut ditetapkan oleh Keputusan LPSK disertai dengan pertimbangan-pertimbangannya sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh PP 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Dan yang perlu diketahui bahwa cara menuntut ganti kerugian jika anda menjadi korban tindak pidana bukan hanya melalui Permohonan Restitusi saja seperti yang dijelaskan diatas. Dalam ketentuan hukum lainnya, korban tindak pidana tersebut baik ia sendiri atau diwakili oleh kuasanya dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum secara perdata dan juga penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 98 hingga Pasal 101 KUHAP atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Tentu dengan adanya hal-hal tersebut diatas terutama hak dari pada korban tindak pidana untuk mendapat ganti kerugian melalui permohonan restitusi, diharapkan seirama dengan tujuan dari pada hadirnya UU perlindungan saksi & korban seperti penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan timbulnya kepastian hukum bagi korban. Sehingga hak-hak dari pada korban tindak pidana tersebut dapat tercapai dan terlaksana dengan baik.
Demikian Semoga Bermanfaat, Terimakasih.
Dasar Hukum :
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Penulis : Daniel Lesnussa
ARTIKEL TERKAIT :
Penting ! Inilah Peran Pengacara Dalam Pendampingan di Kepolisian
4 Peran Dan Manfaat Penting Jasa Hukum Pengacara Baik Untuk Pribadi Maupun Badan Hukum
Jalan di Perumahan Rusak, Siapa Yang Harus Bertanggung Jawab ?